Minggu, 19 Oktober 2014

Sumpah Dalam al-Qur'an



SUMPAH DALAM AL-QUR’AN
oleh: Mahmud al-Fahmi (Mahasiswa Pasca Sarjana UINSA)

Latar Belakang
            Bersumpah adalah mengucapkan kalimat sumpah. Bersumpah itu merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan manusia dalam rangka untuk menyakinkan orang lain bahwa telah berada diatas kebenaran, yang artinya telah bersungguh-sungguh dengan serius, tidak bohong atau sedang bersenda gurau. Adapun manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya sulit sekali membebaskan dirinya secara penuh dari semua kesalahan. Dalam upaya untuk membela dirinya dari semua kesalahan itu, maka salah satu yang harus ditempuhnya ialah dengan bersumpah atas nama Allah[1].
           
            Biasanya bersumpah ini lazim digunakan manusia untuk mereka pada saat posisi mereka dijadikan sebagai saksi dalam sebuah persidangan atau di pengadilan, atau juga sumpah digunakan oleh seseorang yang karena sesuatu dan lain hal dia menjadi pimpinan atau mengemban suatu jabatan tertentu di pemerintahan atau non pemerintahan.Sumpah yang akan digunakan oleh manusia digunakan untuk menyakinkan pihak lain bahwa kandungan ucapannya yang benar. Terjadi pelanggaran tentang bersumpah dengan selain Allah, jika pelaku bertujuan mengagungkannya seperti orang yang telah bersumpah dengan Allah.

            Selanjutnya penulis akan membahas sedikit tentang Al Qur’an, Al-Qur’an adalah Wahyu Allah yang telah diturunkan Nabi Muhammad saw sebagai Kitab suci terakhir untuk dijadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian hidup dunia akhirat. Adapun tujuan pengkajian Al-Qur’an ini adalah untuk memahami kalam Allah, yang berdasarkan penjelasan dan keterangan dari Rasul saw dan riwayat yang telah di sampaikan oleh para Tabi’in dan Sahabat sebelumnya.

            Dalam kenyataannya, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang telah mensyariatkan sumpah itu dan tidak seorang pun yang tidak mengakui adanya syariat Sumpah itu. Bahwa sumpah yang sesuai dengan syariat Islam adalah sumpah yang kalimat sumpahnya menyebut nama Allah. Sumpah menurut agama Islam adalah pernyataan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang telah di kuatkan dengan kalimat sumpah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Sumpah di namai dengan kata itu karena jika orang-orang terdahulu saling bersumpah satu sama lain saling memegang tangan kanan temannya

            Al Qur’an diturunkan di Jazirah Arab, meskipun kandungannya bersifat universal tapi tidak bisa dipungkiri terdapat banyak hal dalam Al Qur’an yang dalam sejarah turunnya dilepaskan  begitu saja dari budaya Arab, artinya ada hal-hal yang disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Arab, salah satunya adalah dalam bersumpah.
            Sumpah atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab, maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-­Nya[2].
            Bahkan kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathir ayat 42 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَهُمْ نَذِيرٌ لَيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الأمَمِ فَلَمَّا جَاءَهُمْ 

 نَذِيرٌ مَا زَادَهُمْ إِلا نُفُورً                                                                    
Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)[3]
Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
 Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).
            Konsep sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, dan juga kebiasaan bangsa – bangsa lain di dunia, sumpah bagi mereka  lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas dengan baik.
Pengertian
            Menurut Bahasa Aqsam adalah bentuk jamak dari Qasam yang artinya sumpah. Adapun menurut istilah yang dimaksud dengan ilmu Aqsamul Qur’an ialah ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.1Lafaz sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu waw, ba’, ta’ seperti wallahi (demi Allah), Billahi (demi Allah), dan Tallahi (demi Allah)[4].
            Pengertian lain dari kata sumpah adalah kata sumpah berasal dari bahasa Arab اْلقَسَمُ (al-qasamu) yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya[5].
            Secara Etimologi Sumpah (Aqsam) merupakan bentuk jamak dari kata Qasam yang artinya sumpah. Kata Qasam, sama artinya dengan kata-kata alhilf dan al-yamin, karena memang satu makna yaitu sumpah. Dinamakan dengan Yamin karena orang-orang Arab itu bersumpah saling memegang tangan kanan masing-masing[6].
Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:
  1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya).
  2. Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
  3. Janji atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu)[7].
            Sedangkan menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan[8].
            Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 61 yang berbunyi:
 
سَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَوَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْ
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)
Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 disebutkan firman Allah yang artinya :”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut: 63)
Syarat dan Rukun Sumpah ( Aqsam )

            Apabila Sumpah (Qasam) dan syarat berkumpul dalam suatu kalimat, sehingga yang satu masuk kedalam yang lain, maka unsur kalimat yang menjadi jawab adalah bagi yang terletak lebih dahulu dari keduanya, baik Qasam maupun syarat, sedang jawab dari yang terletak kemudian tidak diperlukan. Qasam (sumpah) dan syarat dalam bahasa arab merupakan suatu unsur kalimat. Lazim disebab jawab qasam (muqsam’alaih) dan jawab syarat. Contoh dengan jawab qasam Demi Allah, saya akan bersedekah”. Pernyataan ”saya akan bersedekah ” disebut jawab qasam.

            Dalam bersumpah telah disyaratkan: Akil, Baligh, Islam, berkemampuan baik dan menentukan pilihan, jika seseorang bersumpah karena dipaksa maka sumpahnya tidak sah. Sedangkan rukunnya itu lafaz yang akan digunakan. Orang yang bersumpah itu wajub melaksanakan isi sumpahnya, sumpah yang isinya dilaksanakan, menjadi amal baik, jika tidak melaksanakan maka wajib membayar kaffarah atau denda.

Huruf – Huruf Sumpah
            Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam[9], yaitu:
1. Wawu (و )
Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:
تَنْطِقُونَ أَنَّكُمْ مَا مِثْلَ لَحَقٌّ إِنَّهُ وَالْأَرْضِ السَّمَاءِ فَوَرَبِّ
Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23).
Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim dlahir.
2. Ba’ ( ب )
Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:
الْقِيَامَةِ بِيَوْمِ أُقْسِمُ لَا
Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1)
Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:
 Yang artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad: 82).
Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.
3. Ta’ ( ت)
Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:
وَيَجْعَلُونَ لِمَا لا يَعْلَمُونَ نَصِيبًا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ تَاللَّهِ لَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُونَ
Artinya:”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).
Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu الله atau ربّ.
            Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi:
Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaastur: 8)
            Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) disebutkan. Seperti dalam firman Allah yang artinya :”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7)
            Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:
  1. Muqsim (pelaku sumpah).
  2. Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
  3. Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
  4. MuqsamAlaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah)[10].
Tujuan dan Manfaat Sumpah Dalam Al-Qur’an
            Adapun tujuan dari Qasam dalam al-Qur’an adalah untuk menegaskan dan menguatkan khabar, dan dapat mewujudkan muqsam ’alaih. Oleh karena itu, muqsam ’alaih itu berupa sesuatu yang dapat layak untuk dijadikan sebagai sumpah. Seperti halnya telah tersembunyi, bila qasam itu dapat dimaksudkan untuk menetapkan kebenarannya. Dan juga dapat menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran dalam al-Qur’an. Von Denffer mengatakan fungsi dari sumpah aadalah untuk memperkuat dan mendukung argumen, dan untuk membubarkan keraguan dalam pikiran pendengar[11]. 
            Manna al-Quththan[12] berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;
  1. Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
  2. Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
  3. Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.
            Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:
  1. Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
  2. Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya[13].
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :
  1. Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
  2. Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
  3. Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
            Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
            Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis[14].
            Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan as­Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi[15] berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al­-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53[16].
            Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.
            Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun[17], al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.
Kesimpulan
            Al-qasam (sumpah) merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). Semenjak dari pra Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri-­Nya yang Maha Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan manusia.







DAFTAR ISI
Prof Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).
Muchotob Hamzah. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. 2003.
Al Qur’an Terjemah Bahasa Indonesia Juz 1-30 : Menara Kudus
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993),
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
Tim Penyususun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012.
Louis Ma’luf. al-Munjid. Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah. 1956.
Manna Qaththan. Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an.
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Ahmad Von Denffer, An Introduction to The Science of The Qur’an, PDF.
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000.
Anonim. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LidS. 1996.
Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab.  Yogyakarta: Wacana Persada. 2000.
Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994.


[1] Prof Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 203.
[2] Muchotob Hamzah. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. 2003. Hal: 207
[3] Al Qur’an Terjemah Bahasa Indonesia Juz 1-30 : Menara Kudus
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 295.
[5] Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal: 213
[6] Manna’ul Qttan, Mabahis Fi Ulum al-qur’an,PDF, hal : 284.
[7] Tim Penyususun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012. Hal: 973
[8] Louis Ma’luf. al-Munjid. Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah. 1956. Hal: 664
[9] Manna Qaththan. Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an. PDF, hal 283-284
[10] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Hal: 203
[11] Ahmad Von Denffer, An Introduction to The Science of The Qur’an, PDF, hal : 34
[12] Manna Qaththan, hal : 285
[13] Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 205
[14] Anonim. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LidS. 1996. Hal: 26
[15] Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab.  Yogyakarta: Wacana Persada. 2000. Hal: 259
[16] ibid
[17] Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994. Hal: 195

0 komentar:

Posting Komentar